Dalam Kereta
oleh : Chairil Anwar
oleh : Chairil Anwar
15 Maret 1944
Dalam kereta.
Hujan menebal jendela.
Semarang, Solo, makin dekat saja
Menangkup senja.
Menguak purnama.
Caya menyayat mulut dan mata.
Menjengking kereta. Menjengking jiwa.
Sayatan terus ke dada.
PEMBAHASAN :…..
Sajak “Dalam
Kereta” dibuka oleh dua baris berbunyi:
Dalam Kereta
Hujan menebal jendela
Hujan menebal jendela
Dua baris
itu langsung menyajikan suasana terkurung –mungkin(?) juga pengap. Chairil
menggambarkan suasana yang dikurung oleh dua lapisan sekaligus: sudah berada
(1) di “dalam
kereta”,
(2) masih
pula keretanya diguyuri hujan yang “menebali jendela”.
Tentu saja tidak
semua penumpang yang berada dalam kereta yang ditebali hujan lebat akan
merasakan suasana pengap dan muram. Penumpang yang sedang jatuh cinta
atau yang baru saja naik pangkat akan tersenyum-senyum dan menikmati rinai
hujan di luaran sebagai simfoni indah yang berdentang dalam dada. Hanya saja,
baris-baris berikutnya lebih menunjukkan aura mencekam ketimbang riang.
Semarang,
Solo? Makin dekat saja
Menangkup senja
Menguak purnama
Menangkup senja
Menguak purnama
Dua baris
berikutnya dari sajak ini menunjukkan bahwa kereta yang dimaksud sedang menuju
Semarang dan/atau Solo. Tapi, kenapa di situ Chairil menyebutkan dua kota
tujuan sekaligus? Kenapa tidak salah satu saja? Yang mana yang benar? Adakah
Chairil sedang menggambarkan kebingungan menentukan tujuan? Atau memang belum
tahu tujuan? Tak bisa tidak, suasana ketidakpastian sudah menelisut di situ.
Kendati
belum jelas dan pasti kota apa yang dituju, Chairil sepertinya sudah cukup
jelas punya tujuan dari perjalanannya yaitu hendak “menangkup senja” dan
“menguak purnama”. Mungkin senja akan ditangkup di Semarang sementara
purnama akan dikuak di Solo.
Yang jelas,
di situ Chairil menunjukkan satu target atau obsesi (“menangkup senja” dan
“menguak purnama”). Tapi, target atau kehendak itu rasanya sedikit aneh dalam
kosa kata sajak-sajak Chairil. Biasanya, atau lebih banyak, Chairil menguarkan
obsesi dan tekad dengan bahasa yang lugas, tegas dan seringkali seperti
hentakan dari ujung sebuah orasi yang menggelegar, macam: “Aku mau hidup seribu
tahun lagi”.
Objek dari
target atau obsesi atau tekad itu ternyata “senja” dan “purnama”; dua hal
abstrak yang seringkali dirujuk untuk menggambarkan suasana hati yang teduh,
indah, pendeknya jauh dari sesuatu yang hiruk-pikuk, menggelegar atau
tantang-menantang.
Caya
menyayat mulut dan mata
Menjengking kereta. Menjengking jiwa.
Sayatan terus ke dada.
Menjengking kereta. Menjengking jiwa.
Sayatan terus ke dada.
Tiga baris
terakhir sajak Chairil makin menyempurnakan kemuraman, rasa perih dan
mencekam yang sudah disiapkan Chairil sejak baris pertama itu dalam satu
pukulan ironi yang menggambarkan kepasrahan untuk dicincang-cincang:
Semarang
atau Solo, dua kota yang dibayangkan sebagai tempat untuk “menangkup senja” dan
“menguak purnama”, ternyata “sengaja didatangi” justru untuk membiarkan diri,
mulut dan mata disayat ca(ha)ya, sayatan yang begitu kuat sampai-sampai mampu
menjengkingkan kereta dan jiwa. Di situlah irononya bercokol.
KESIMPULAN
-
Sajak ini
begitu imajinatif menggambarkan rasa pedih dan perih. Fakta bahwa uraian
imajinatif ihwal rasa pedih dan perih itu digambarkan melalui metafora “kereta”
Perlahan-lahan
pembaca diajak merasakan suasana pedih dan perih yang sedetik demi sedetik
makin menyayat-nyayat, dari mulai mata… mulut… lantas terus turun menyayati
dada.Ada sejumput kesan masokisme di situ; tentang Chairil yang mengajak
pembaca menikmati segala pengalaman pedih dan perih yang menghunjam dengan
perlahan namun dengan tingkat kepastian yang –tak bisa diragukan—akan terus
merambat hingga dada.
Dan Chairil
memercayakan semua lakon (bernada) masokis itu dipanggungkan di atas
gerbong-gerbong kereta, bukan truk atau sedan atau kapal laut. Kenapa dengan
kereta? Selain soal fakta bahwa Chairil sering bepergian ke kota-kota yang jauh
dengan kereta dan arti penting kereta pada zaman itu, adakah alasan lain kenapa
Chairil memilih kereta?
Kereta
memang jauh lebih memungkinkan pengalaman mencekam dan liris itu ditelan
dalam dada, lebih dari kapal laut atau pesawat terbang apalagi mobil.
kereta memiliki ruang yang memungkinkan imajinasi lebih leluasa berkembang






bgus
BalasHapusyaiya nu....
BalasHapusheheheh